Ny. Muntama, Guru Spiritual yang Selalu Menerima



sumberpandan.com • 22 tahun sudah masyarakat Sumberpandan tidak bisa lagi mendengarkan fatwa-fatwa bijak dari Nyai Muntama binti Kyai Asyiq, ibunda tercinta dari almaghfurlah Kyai Adnan Sya'roni dan almaghfurlah Kyai Anwar Sya'roni.

Selain dikenal dengan sifat rendah hati dan dermawan, di mata masyarakat Sumberpandan Nyai Muntama juga dikenal begitu penyayang dan penyabar baik terhadap tetangga terlebih bagi keluarganya. Terbukti meski banyak cobaan yang terus menimpanya, namun beliau hadapi dengan sabar, tabah dan dibuktikan dengan seumbar senyuman sebagai wujud bahwa beliau selalu menerima apa adanya.

Berikut Penulis sajikan biografi singkat beliau yang disarikan dari hasil wawancara dengan keluarga dan masyarakat setempat.

Masa Remaja
Perempuan yang hidup di era orde lama ini memulai menimba ilmu agama di salah satu pondok tua di kampung Timurgunung desa Gunungsereng kecamatan Kwanyar Bangkalan.

Selama belajar di sana beliau dididik langsung oleh Nyai Aisyah, istri pengasuh pondok tua yang kini tinggal puing-puingnya saja. Di bawah asuhan Nyai Aisyah ini, Nyai Muntama mulai mengenal dasar-dasar ilmu agama. Mulai dari cara wudu', shalat hingga bagaimana hidup di tengah masyarakat. Bahkan beliau dikenal santri yang cerdas. Terbukti setiap Nyai Aisyah memberikan tugas hafalan, Nyai Muntama langsung hafal pertama.

Usai mendalami ilmu di pondok pesantren Timurgunung, beliau langsung dipersunting oleh Kyai Sya'roni. Namun belum beberapa lama menjalin hubungan, beliau masih merasa haus ilmu sehingga terpaksa harus kembali mondok di pondok yang sama atas izin dari sang suami.

Mulai Menyebarkan Ilmunya

Selang beberapa tahun, Nyai Muntama kembali lagi ke Sumberpandan untuk menyebarkan pengetahuannya yang beliau kantongi selama mengenyam pendidikan agama di pondok pesantren Timurgunung.

Nyai Muntama memulai dakwahnya dengan mengajarkan cara baca al-Quran setiap selesai salat Maghrib dan Subuh. Putri dari pasangan Kyai Asyiq dan Nyai Sofwah ini dikenal begitu sabar dalam membimbing santri-santrinya. Meski mayoritas mereka sulit menerima pelajaran, namun atas ketelatenannya mereka mampu membaca al-Quran dengan fasih dan lancar.

Setelah para santri dilihat sudah lancar baca al-Quran, beliau mulai membuka pengajian kitab Safinatun Najah. Kitab hasil buah tangan Syeikh Salim al-Hadrami ini beliau ajarkan setiap selesai salat Dzuhur berjemaah. Tidak sedikit santri yang berdatangan dari desa sekitar untuk sekedar mengdengarkan penjabaran kitab Safinah yang beliau sampaikan.

Banyak metode yang Nyai Muntama terapkan dalam sistem pendidikannya. Mulai dari sistem sorogan hingga hafalan. Sehingga tidak heran ketika kita temukan sekarang dari santri-santrinya yang meski sudah tua namun hafal kitab Safinatun Najah di luar kepala. Tidak hanya itu, bahkan mereka mampu mentranslate ke bahasa Madura dengan lancar.

Tradisikan Sowan ke Guru
Meski sudah dinyatakan boyong dari pondok pesantren Timurgunung, namun Nyai Muntama tidak mau lepas begitu saja dari pondok yang telah membuatnya mampu membedakan mana yang haq dan batil, terlebih pada gurunya.

Oleh karenanya setiap ada waktu luang, beliau menyempatkan untuk sekedar sowan ke keluarga besar Nyai Aisyah di Timurgunung. Bahkan setiap panen jagung tiba, beliau mengajak masyarakat Sumberpandan untuk berduyun-duyun sowan ke guru sepuhnya itu dengan membawa jagung hasil panenan mereka. Hal ini beliau lakukan bertahun-tahun hingga beliau menghembuskan nafas terakhir.

Tradisi tersebut beliau lakukan tidak lain hanya ingin mengajarkan para santrinya agar tidak lupa terhadap orang yang pernah membimbing mereka terlebih dalam masalah agama.

Tradisi tersebut cukup melekat di masyarakat Sumberpandan hingga kini. Sehingga setiap kali mereka panen jagung, mereka menyisihkan sedikit untuk sadaqah terhadap gurunya. Bahkan bagi mereka yang merantau ke luar Sumberpandan, setiap pulang, mereka menyempatkan waktu sejenak untuk silaturrahim ke gurunya. Agar tali silaturrahim antara guru dan murid tidak putus begitu saja.

Namun ironisnya, kini ada sebagian kecil yang salah mengartikan tradisi silaturrahim tersebut, sehingga kadang mereka tidak sowan hanya disebabkan malu karena tidak punya sesuatu yang ingin diberikan. Sungguh naif sekali.

Wafat di Hari Jum'at
Tepat pada hari Jum'at pagi tanggal 14 Dzul Hijjah 1418 yang bertepatan dengan tanggal 10 April 1998 masyarakat Sumberpandan dikejutkan dengan berita duka atas wafatnya Nyai Muntama binti Kyai Asyiq melalui corong spiker Masjid Taqwimuddin yang disampaikan oleh Kyai Fakhrurrozi, cucunya, dengan isak tangis yang tidak bisa dibendungnya lagi. Sontak saja masyarakat Sumberpandan dan sekitarnya langsung bergegas memadati rumah duka dengan cucuran air mata seraya berucap "Allah, Allah, Allah..".

Seperti yang telah kita ketahui, di antara tanda-tanda orang yang selamat dari fitnah dan siksa kubur adalah mereka yang wafat di hari Jum'at atau malam harinya, sebagaimana yang telah dijabarakan oleh Syeikh Zainuddin al-Malibari dalam salah satu kitabnya, Fathul Mu'in.

Semoga segala perjuangan dan amal beliau dicatat sebagai ibadah oleh Allah Swt. Serta diampuni segala kekhilafannya. Amin.

Telah dibaca kali

7/Post a Comment/Comments

  1. ma sya Allah.... sangat menginspirasi

    BalasHapus
  2. Kyky gk bs plg, cm bs berdo'a,
    ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﻏﻔﺮﻟﻬﺎ ﻭﺍﺭﺣﻤﻬﺎ ﻭﺍﻋﻔﻬﺎ ﻭﺍﻋﻒ ﻋﻨﻬﺎ

    BalasHapus
  3. baliau adalah sosok pembela pabila ada santri2 sedang dalam tekanan,

    BalasHapus
  4. Sangat menginsipirasi

    http://www.lirikdangdut.net

    BalasHapus
  5. Semoga kita mendapatkan barokahnya, selamat dunia ahirat. Amin

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama